Kamis, 12 Februari 2015

Kancing Baju Itu..


Masih saja tentang dirinya. Ketidakpedulian yang selalu aku harapkan.
Februari datang membawa perasaan tenang, sesekali membuat hati senang, tak jarang juga membuat bimbang. Bulan baru, aktivitas baru, kisah baru, dan harapan baru. Semua orang menganggap bulan Februari ini bulan penuh cinta dan bulan penuh kasih sayang. Alasannya sih simple, karena tanggal 14 Februari diperingati sebagai perayaan hari valentine.
Aku gak ngerti dari mana asal muasal valentine itu dirayakan. Yang aku tau, valentine adalah hari dimana yang punya pasangan saling bertukar hadiah sama pasangannya, yang lagi pacaran jarak jauh terus tiba tiba ketemuan buat melepas rindu, yang jomblo tiba tiba dapet pacar, yang tukang php tiba tiba khilaf terus membuka hatinya lebar lebar untuk seseorang lain, dan yang suka ditolak cinta nya tiba tiba jadi rajin ibadah, solat 5 kali sehari, puasa senin kamis biar cinta nya di hari valentine bisa diterima.
Tapi valentine bagiku sama seperti hari biasa, tak pernah aku merayakannya. Tak pernah spesial juga hingga usiaku 17 tahun ini, sama seperti malam malam yang biasanya aku habiskan dengan bermalas malasan, berbaring diatas kasur, memutar daftar lagu dari berbagai genre sebagai penghibur dan pengantar tidurku, membuka kunci layar ponsel, menunggu balasan chat nya yang tak kunjung datang. Lemah pada penantian, lelah pada perasaan.
Terlebih untuk malam ini, ponselku hanya terus memutar lagu berbagai genre yang sedikit menghiburku. Hingga tak lama kemudian nada ponselku berbunyi, aku hanya berfikir ini notifikasi broadcast sampah BBM (Blackberry Messenger) kaum alayers yang hobby promosi pin BB gak penting. Kubiarkan saja hingga ponselku berbunyi untuk kedua kalinya, dan kali ini aku sangat berharap ini balasan dari chat nya. Dengan semangat kubuka layar pada ponselku, notifikasi tertera disana, segera aku membuka nya tapi dugaanku meleset jauh. Notifikasi itu ternyata hanya dari seorang temanku yang mengabariku mengenai novel barunya yang ingin dia pinjamkan kepadaku.
Baru baru ini aku punya niatan untuk membaca banyak novel. Aku berfikir dengan membaca novel dapat mengalihkan sedikit perhatian dan pikiranku tentang dirinya. Iya dirinya, ketidakpedulian yang selalu aku harapkan.
Semenjak temanku meminjamkan novelnya padaku, tidurku semakin tak beraturan. Jam 1 hingga jam 3 pagi aku masih saja semangat membaca tiap halaman, seakan penasaran bagaimana kelanjutan ceritanya. Salah satu novel yang aku baca pada bulan Februari penuh kasih sayang ini adalah novel karya Winna Efendi berjudul Tomodachi. Tomodachi mengajariku tentang banyak hal. Tentang sebuah persahabatan dan perasaan cinta di dalamnya serta tentang perjuangan bagaimana memiliki dan mempertahankan sesuatu. Tomodachi memberiku pelajaran bagaimana cara untuk membuat dirinya percaya dan mau bersamaku, sebuah keinginan yang sulit diwujudkan tanpa usaha. Tomodachi telah mengalihkan perhatianku tentang hari valentine, terlebih juga tentang dirinya. Ketidakpedulian yang selalu aku harapkan.
Dikamar seketika udara menjadi sejuk, malam terlalu panjang untuk kuhabiskan sendiri, hawa ngantuk mulai terasa, jendela kamarku mulai basah terkena terocohan air hujan dari sisi genteng kamar tidurku yang bocor.
Iya aku bahagia hujan seketika datang, hari valentine nanti kucoba sambut dengan perasaan senang, meskipun harapanku padanya tak pernah dia kenang. Terasa perih, gumamku hanya lirih. Senang melihat semua pasangan di sekelilingku menyiapkan kado istimewa untuk pasangan nya. Senang juga aku masih bisa menghirup udara segar hingga detik ini, masih bisa merasakan hari kasih sayang ini sendiri. Iya sendiri.
Kembali ku mencoba mengingat cerita tentang Tomodachi yang menceritakan sebuah perasaan cinta Tomomi kepada senior nya Hasegawa Senpai yang membuat dirinya tak sadar bahwa cinta yang sesungguhnya itu selalu berada di dekatnya, yaitu Tomoki, sahabatnya sendiri yang pernah membuatnya kesal saat pertama masuk sekolah. Juga tentang rasa tak kenal menyerah dari Tabi yang sangat mencintai Hasegawa Senpai padahal sudah jelas bahwa Hasegawa tak pernah mencintainya. Bahkan ketika Hasegawa memiliki kekasih, Tabi masih berharap padanya. Tabi sadar bahwa cinta itu rumit, orang yang ia sukai tidak selalu membalas perasaanya, kadang dia jatuh cinta pada orang yg salah, kadang juga tak sadar bahwa selama ini ada orang yang tulus menyukai nya. Hingga akhir kelulusan, akhirnya Tabi mendapatkan kancing baju kedua milik Hasegawa. Kancing yang letaknya paling dekat dengan hati yang diberikan oleh senior ketika kelulusan kepada orang yang ia sukai.
Aku hanya berhayal andai saja disini aku juga dapat melakukan hal yang sama seperti itu. Saat aku mengutarakan perasaanku padanya dan berharap mendapat kancing baju kedua miliknya. Tapi, sejenak aku terdiam. Mengingat tempo hari akan ucapanku padanya “Apasih aku ini, setahuku menunggu sesuatu tak pernah se menyenangkan itu”. Dan juga akan balasan yang dia berikan padaku “Kalau begitu berhentilah menunggu, kita bisa berjalan bersama sebagai teman, seperti awal kamu mengenalku”. Terasa perih, gumamku hanya lirih.
Andai saja hal itu tadi benar terjadi, setelah dia berkata padaku mungkin dia akan memberikan kancing baju nya padaku, bukan kancing baju kedua yang aku dapatkan, yang berarti aku tidak menjadi orang yang ia sukai. Bukan juga kancing baju pertama, yang berarti aku bukan sahabat terbaiknya. Namun hanya kancing baju keempat, kancing baju yang ditujukan untuk teman biasa. Hanya keempat, tidak ketiga. Karena aku sadar kancing ketiga memiliki makna teman terbaik. Sedang aku hanya sekedar teman biasanya, tidak lebih.
Entah mengapa otakku makin gusar memikirkan dirinya, suatu perasaan bersifat kasar terganjal ingin ku ungkapkan padanya, juga tentang kegelisahanku yang begitu besar ketika tidak berada di dekatnya. Semua ini karna dia, ketidakpedulian yang selalu aku harapkan.
Novel dan hari valentine sedikit membuatku terlena akan ingatan tentang dirinya, ingatan yang selalu aku utarakan bahwa “Cinta Harus Memiliki”. Kata kunci yang aku punya yang entah sampai kapan aku dapat membuka sendiri kata kunci itu. Kata kunci yang aku punya yang entah sampai kapan aku dapat masuk dan menguasai itu sendiri.
Lelah kurasa. Perasaan ini terlalu memaksa. Hatiku seakan tersiksa. Pada suatu rasa, yang tak akan pernah bisa membuatku seakan berjasa. Namun hanya membuatku putus asa. Darinya, yang tak pernah memberiku sedikitpun balas rasa. Terasa perih, gumamku hanya lirih. Olehnya, ketidakpedulian yang selalu aku harapkan.
Aku tak peduli tentang sikap nya padaku. Aku tak peduli tentang apa yang dia fikirkan tentangku. Dan aku tak peduli bagaimana cara dia membalas segala rasa yang ku titipkan padanya. Aku mengerti kesedihan ada untuk dirasakan sebelum kebahagiaan hadir membawa harapan. Sedih jangan dilawan, bahagia ada untuk kita dapatkan.Bagaimanapun juga aku harus bahagia baik ketika di dekatnya maupun jauh dari dirinya. Aku harus bahagia.
Sejenak ku teringat tentang kalimat “Bahagia Itu Sederhana”. Aku tak tahu mengapa jika bahagia itu sederhana aku belum bisa bahagia? Mengapa sampai sekarang aku tetap mencari kebahagiaan? Aku terus bertanya pada diriku sendiri dan akhirnya aku sendiri mengerti. Bukan bahagia yang sederhana, melainkan kesederhanaan yang akan membuatku bahagia. Kesederhanaan dalam bertindak, kesederhanaan dalam bertingkah laku dan bersosialisasi, dan juga kesederhanaan dalam mencintai serta menyayangi seseorang.
Tak sadar deru hujan diluar semakin deras, lantai kamar mulai basah oleh air yang masuk karena genteng sisi jendela yang bocor, lap lap bekas kering pun sudah kugunakan semua untuk mengelap lantai kamarku. Daftar putar lagu di ponselku mulai memutar lagu lagu melow, cocok dengan situasi hujan dan pas ngena banget di perasaan. Terlebih lagu tentang cinta yang membuatku kembali bertanya tanya mengapa orang membutuhkan cinta? Mengapa orang sangat tertarik berbicara mengenai cinta? Dan Mengapa Cinta Harus Memiliki? Aku hanya tertarik oleh ucapanku mengapa cinta harus memiliki. Karna jika tidak memiliki maka tidak cinta. Bagaimana bisa menjaga seseorang yang dicinta padahal dia bukan milikku? Bagaimana bisa dia mencintaiku tanpa memiliki hatiku? Iya, cinta harus memiliki.
Entah sampai kapan aku akan terus berfikir seperti ini. Hanya berfikir tak ingin berjuang? Berjuanglah selagi yang diperjuangkan menghargai perjuangan. Aku bukan sandal jepit, yang ketika salah satu putus maka sudah tidak berfungsi. Aku adalah sepasang sepatu, selalu bersama, tak bisa bersatu.
Dalam kesendirian malam yang dingin oleh cuaca hujan diluar, perutku mulai bawel minta diberi asupan makan karna daritadi mulutku terus mengoceh tentang cinta, cinta, dan cinta. Perutku protes untuk apa berbicara mengenai cinta, toh juga tidak akan membuatku kenyang! Aku mencoba menuruti permintaan perutku yang selalu bawel saat tengah malam dan hujan tiba.
Aku bergegas keluar dari kamar dengan melilitkan sarung di pinggangku untuk sedikit mengurangi dinginnya malam ini. Menuju ke dapur mencari apa yg bisa aku makan. Dan tentu bukan cinta yang aku makan, karna cinta tak pernah membuatku kenyang! Mie rebus rasa soto diatas tumpukan cabe dan telur itu menarik perhatianku, terlebih kaleng berisi peyek khas bikinan nenek menambah ketertarikanku untuk segera menyantap nya.
Tanpa lama aku mengambil panci kecil yang gagangnya sudah lepas karna saking lamanya tak terurus. Sama seperti cinta, panci nenek sudah usang karena jarang tersentuh. Maklum, terkadang nenek dirumah jarang membuat mie jadi panci hanya tergantung jauh dibanding alat masak yang lain. Walau usang dan bawahnya berwarna hitam serta pinggirnya berkarat, nenek tidak akan membuang barang masak nya itu sebelum benar benar tidak bisa digunakan.Segera kuambil air dan sekali kuhidupkan kompor. Segeralah aku memasak mie. Tak butuh waktu lama, mie yang kumasak kurang dari 10 menit itupun jadi. Dengan lahap aku menyantapnya. Aku hanya berkonsentrasi untuk memuaskan perutku, perut yang selalu bawel saat tengah malam seperti ini.
Seporsi mie kuah rasa soto, telur dan peyek ikan teri buatan nenek serta nasi hangat itu benar benar membuat perutku puas. Usai sudah aku membahagiakan perutku. Selesai makan, giliran mata ini mengajakku ke kamar. Mataku seakan berkata “Ayo pejamkanlah aku, aku lelah”. Malam terlalu malam, segera aku kembali ke kamar, mendengarkan lagu lagu melow dan sesekali membuka galeri foto tentang dirinya. Ya, aku suka mengoleksi foto nya. Kadang foto itu aku ambil dari akun sosial media Instagram dan Facebook miliknya. Kadang aku mengambil nya dari display picture BBM (Blackberry Messenger) miliknya. Dan tak jarang juga, aku sendiri yang minta kepadanya untuk dikirim fotonya. Yah semata sih untuk hiburan, karena sekejap dengan melihat senyum di fotonya saja aku sudah tersenyum bahagia. Senyumnya, subhanallah ciptaan Allah SWT. memang sempurna.
Terdiam melihat senyuman. Oleh hati yang selalu dihiraukan. Oleh rindu yang selalu diabaikan. Oleh rasa yang tak pernah dipedulikan. Terlebih lagi. Olehnya ketidakpedulian yang selalu aku harapkan.
Perasaan ini bercampur aduk, rasa ingin memilikinya selalu terbentur dengan rasa ketidakpeduliannya. Aku sadar kelakuanku buruk untuk perempuan secantik dirinya, tapi aku akui aku luluh atas semua senyumannya. Hujan bersaksi, aku jatuh hati. Indah tatapnya aku bernaung, sejuk hatinya aku menetap, elok senyum nya aku terpikat. Dialah alasan utama betapa hidup hanya berisi kata bahagia.
Tapi, dia curang! Dia licik! Aku harus berusaha terlebih dahulu agar bisa membuatnya tersenyum bahagia. Sedangkan dia, cukup tersenyum saja sudah dapat membuatku bahagia. Bisakah dirinya berhenti mengeluh dan mulai menatapku? Sejenak saja menatapku yang ada di tiap lelahnya. Yang akhirnya hampir menyerah untuk mendapatkannya? Aku sadar segala sesuatu yang terlalu berlebihan itu gak baik. Termasuk terlalu cinta, terlalu sayang dan terlalu kangen. Semuanya gak baik, karna jika hal itu tidak mendapat balasan akan menjadi terlalu juga. Terlalu Sakit.
Dan kini, kala malam hampir hilang berganti pagi. Kala dingin mulai menepi. Kala hujan mulai terdiam hanya tetes air membuat suasana sepi. Sadarkah dirinya disini aku menantinya? Menanti balas rasa yang telah kuberi padanya? Menanti suatu kebahagiaan yang katanya indah pada waktunya? Juga menanti apakah aku benar benar bisa bersamanya? Memilikinya? Menjaganya? Terkadang ingin ku bertanya pada dirinya. Terkadang ingin ku menyentuh wajahnya dan berkata “Aku menyukaimu”. Terkadang aku hanya ingin diam saja menyimpan rapat rapat semua ini. Namun aku sudah menentukan pilihan. Begini saja asal aku bisa selalu berada di sampingnya, aku bahagia.
Lalu, siapakah aku dihadapannya? Seorang teman curhat? Seorang pengagum diam diam? Seorang yang terlalu berharap balas cinta nya? Atau seorang yang menginginkan kancing baju kedua miliknya? Aku tak tahu pasti. Yang aku tau, aku adalah orang yang belum akan tertidur sebelum dia tidur saat sedang berbalas pesan. Yang aku tau, aku adalah orang yang selalu ingin dibangunkan di pagi hari olehnya untuk sekedar solat subuh. Yang aku tau, aku adalah orang yang bertingkah bodoh saat bertemu dengannya, berdebar saat berbicara dengannya, dan terdiam saat melihat nya berbicara dengan yang lain. Yang aku tau, aku adalah orang yang sangat menanti senyum nya tiap langkah, tiap hari, bahkan tiap akan berjumpa dengannya.
Senyum itu, senyum yang entah kapan dapat menjadi milikku. Senyum itu, senyum yang selalu membuatku terdiam. Senyum itu, senyum yang membuatku berharap akan kancing baju kedua miliknya. Kancing baju terdekat dengan hati sebagai tanda rasa suka. Untukku yang selalu tertawa, selalu terlihat ceria, selalu berusaha membuatnya bahagia. Sadarkah dirinya, ada hati yang teriris saat mencoba tertawa, ceria, dan bahagia di depannya. Sadarkah dirinya, pura pura bahagia tak pernah se menyenangkan itu. Sadarkah dirinya, pura pura bahagia membutuhkan banyak tenaga. Tenaga agar selalu bisa kuat bertahan. Bertahan ketika apa yang diharapkan tak pernah menjadi prioritasnya. Selalu olehnya. Ketidakpedulian yang selalu aku harapkan.
Untuk hari valentine yang biasa dan tak ada kata spesial. Untuknya senyum yang kunanti setiap harinya, setiap akan berjumpa dengannya. Terlebih perihal harapanku akan kancing baju kedua miliknya. Hatiku mengerti. Perasaanku paham akan dirinya. Aku sadar, hari valentine adalah hari kasih sayang. Akupun juga sadar aku adalah orang yang entah kapan bisa untuk sekedar dia sayang.
Olehnya, ketidakpedulian yang selalu aku harapkan.

1 komentar: